Translate

Rabu, 24 Februari 2016

Menaklukkan Makhluk 8A



Selasa, 16-2-2016

Hari ini, jam pelajaran 5-6, saya merasa bahagiaaa… mengapa? Jika dikisahkan mungkin kejadian ini akan mengundang tawa atau biasa saja bagi kebanyakan orang. Tapi bagi saya yang guru piket – dimana keberadaannya sangat tidak diharapkan siswa- merupakan kejadian yang luar biasa membahagiakan. Alasannya? Mari kita kilas balik apa yang saya alami barusan, mumpung masih anget dan semangat menuliskannya, and the other reason is… im free of class. Hee..
Sekarang jam 11.39. itu artinya 19 menit berlalu sejak saya meninggalkan kelas 8a yang baru saja saya isi menggantikan guru bahasa inggris yang berhalangan hadir. Sebelumnya saya sudah menunggu kehadiran si bapak bahasa inggris selama 20 menit, namun tidak kunjung hadir dan akhirnya tugas sayalah sebagai guru piket menggantikan guru yang berhalangan hadir tersebut. Sangat perlu saya ungkapkan disini bahwa siswa di kelas 8a adalah siswa dengan tingkah laku terparah di seluruh 6 kelas di sekolahku ini. If they have had grade, that class will got E for their scores. Halahhh..keterlaluan memang. Sampai-sampai saya sangat tidak ingin menggantikan tugas guru di kelas itu. Hhikkksss.. tapi belakangan saya berpikir, masa saya menyerah, bukan menyerah kepada siswa tapi menyerah dengan kemampuan saya sendiri.  Mana dong ide cemerlang, perhatian, kontribusi dll bagi perbaikan tingkah laku siswa ini khususnya dan kontribusi saya membentuk generasi muda. Masa mau dibiarkan begitu tanpa penyelesaian.. oougghhh… impian tingkat tinggi. Tapi lebih baik bermimpi tentang perubahan untuk diwujudkan dibandingkan tanpa apa-apa kan..
Akhirnya saya masuki kelas ekstrim itu. Perjuangan sudah dimulai sejak di depan kelas. Hampir sebagian siswa berada di luar kelas dan sebagian yang di dalam sibuk dengan aktivitas mereka yang kebanyakan menghasilkan keributan. Ketika saya meminta mereka masuk, mereka menjawab dengan anggukan kepala tapi tidak bergeming. Haaaahhh.. bagaimana pendapat saudara-saudara? Biasa. Okelah hal seperti ini masih biasa. Kemudian saya dekati lagi dengan bahasa yang berbeda. Satu dua siswa menjawab permintaan saya dengan beralih ke arah lapangan, jalan aja gitu, meninggalkan ibu guru yang jelas-jelas akan mengisi pelajaran, biasanya hal ini akan berlanjut dengan nglimput, ini bahasa daerah tempat saya tinggal, artinya kira-kira kabur dari jam pelajaran sekolah.  Sampai disini..bagaimana?
Tulisan ini sudah besoknya kejadian di atas..hee..
Lanjut ya, sampai mana ya kemarin.. hmm.. nah, kejadian itu harus disikapi dengan sabaaaarrrr… lapang dada, saya panggil aja nama siswa itu dan melambaikan tangan ke arah mereka yang masih asik nongkrong di ujung seberang lapangan. Tanpa disangka, lambaian tangan dan panggilan saya kali ini manjur. Mereka segera berdiri, berjalan ke arah saya menuju kelas. Wooww.. Alhamdulilah. Suatu kemudahan yang diberikan Tuhan.
Perjuangan ‘memasukkan’ siswa ke kelas berhasil. Tapi bukan berarti ketika seluruh siswa sudah masuk kelas kemudian dengan mudahnya menyatukan mereka untuk mendengar dan melaksanakan instruksi saya. Perjuangan kedua dimulai. Sembari membuka lembaran presensi, mengamati kehadiran siswa pada jam sebelumnya, dan mengabsen mereka yang tidak hadir, saya pikirkan kegiatan apa yang sebaiknya saya berikan, cocok dan dapat menarik perhatikan mereka. Suara saya harus distel ke volume maksimal untuk mengimbangi riuhan suara 30an siswa di kelas itu. Menimbang antara memberi pelajaran sesuai mata pelajaran yang ada atau saya beri pelajaran hikmah melalui game. Jika saya beri pelajaran bahasa inggris, pertimbangannya adalah mereka tetap mendapatkan hak mereka sesuai pelajaran yang ada, namun saya sadarai bahwa pelajaran ini adalah salah satu pelajaran minoritas, artinya banyak siswa yang menghindarinya. Jika disampaikan dengan cara yang kurang tepat tentu mereka akan semakin liar. Haha.. hiperbolis sekali. Kemudian jika saya beri pelajaran hikmah melalui permainan tentu akan menghasilkan suasana berbeda dan menarik. Namun tetap saja saya harus ekstra perjuangan memulai dalam suasana kelas seperti yang saya gambarkan tadi. Pertimbangan lain adalah mereka tidak mendapat materi sesuai pelajaran yang ada.
Ting..tang..tung.. ada lonceng di kepala saya mendesak untuk segera memutuskan. Ahh..ditengah keriuhan kelas itu saya teriakkan sebuah kalimat, “siapa diantara kalian yang bersedia menjadi pemimpin?”. Lumayan menarik perhatian, sebagian besar mereka mulai memperhatikan, menoleh kearah saya dan bertanya. “pemimpin apa bu…?”… “buat apa bu..?”… “ngapain aja bu..?” meskipun ada beberapa yang masih sibuk dengan urusannya. Deretan pertanyaan itu cukup membuat saya lega untuk memulai kelas ini. Jumlah siswa di kelas 8a sngat tidak berimbang, dari 32 siswa hanya 8 siswa laki-laki. Dengan perbandingan jumlah ini, saya minta 4 pemimpin dari wanita dan 2 pemimpin dari laki-laki. Setelah negosiasi dan kealotan yang cukup lama, akhirnya majulah 4 pemimpin perempuan dan hanya satu pemimpin laki-laki. saya ajukan lagi pertanyaan untuk mereka yang berjenis laki-laki. “mana pemimpin laki-lakinya, masih kurang satu, ada yang bersedia? Masa laki-laki kalah sama perempuan?” kalimat panjang ini saya sampaikan satu demi satu sembari memperhatikan reaksi mereka. Ada yang menyangka atau mengira-ngira apa yang terjadi? Satu, ada yang maju, begitu sampai di meja depan belok ke meja temannya, ada yang berujar, dengan suara nyaring, ..moso koyo aku ate dadi pemimpin.. (masa kaya saya mau jadi pemimpin), ada pula yang dengan terang-terangan menolak permintaan menjadi pemimpin. Whats??? Hebat kalau penolakan ini terjadi pada orang-orang yang justru mengajukan diri menjadi pemimpin di bursa pemerintahan, dan akhirnya berubah niat di tengah jalan dengan memanfaatkan kekuasaannya. Lha ini…
Ini sudah lusanya dari kejadian diatas. Hhfff.. belajar rajin menulis, berjuang menyelesaikan tulisan untuk kejadian yang hanya kurang dari dua jam. Baiklah saya lanjutkan.
Hingga beberapa saat siswa laki-laki tetap tidak ada yang bersedia menerima tawaran saya menjadi pemimpin, saya putuskan biar diganti perempuan saja posisi itu. Begitulah akhirnya ada 4 pemimpin perempuan dan satu pemimpin laki-laki. sudah ditetapkan! Tapiii… buu… saya gak jadi. Halah siapa itu. Ouughhh.. the pro blem is still done. Entah siapa yang ingin mengudurkan diri dan  justru ada siswa laki-laki yang maju menawarkan diri menjadi pemimpin. Baiklah saya terima. Segera saya tetapkan dan mengumpulkan mereka ber-6 di depan kelas. Lalu saya tawarkan dua pilihan, apakah jam ini akan diisi materi bahasa inggris atau permainan. Terang saja koor yang terdengar adalah pilihan kedua. Keberhasilan kedua menarik perhatian mereka. Yup, reaksi berupa jawaban dari siswa itu adalah keberhasilan lo. Karena… siswa di sekolah ini, terutama di kelas 8a kadang lupa bawa telinga. Heee..  
25-2-2016
Melihat tanggal di atas berarti sudah hari kesekian sejak kejadian.. mari menghitung.
Sesuai kesepakatan bersama, jam pelajaran itu akan diisi dengan permainan. Meskipun saya sebut permainan tapi dalam pelaksanaannya akan ada pelajaran yang diperoleh siswa secara tidak sadar. Permainan ini saya sebut dengan permainan menyusun bentuk. Sebenarnya dulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah, SMAK, saya pernah mendapatkan pelatihan motivasi berprestasi, dan permainan ini merupakan salah satu bagian pelatihan. Saya sangat tertarik dengan makna permainan ini dimana masing-masing pribadi dalam kelompok harus berjuang menyatukan potongan-potongan kertas sehingga membentuk persegi. Meskipun setiap peserta harus berhasil menyatukan potongan miliknya, namun dalam kelompok mereka juga bertanggung jawab menghasilkan sebanyak 4 persegi sesuai jumlah anggota kelompok ditambah ketua kelompok sebagai pemberi instruksi. Ada beberapa aturan yang harus mereka patuhi selama permainan, yaitu dilarang berbicara sesame anggota, dilarang mengambil atau meminta potongan kertas anggota lain, dilarang memberi kode apapun, dilarang membantu menyatukan persegi anggota lain. Kegiatan yang boleh mereka lakukan adalah menyatukan potongan kertas masing-masing dan memberi potongan kertas kepada teman atau anggota dalam satu kelompok. Ketua masing-masing kelompok bertugas mencatat nama anggota mereka yang melakukan pelanggaran, hanya mencatat, tanpa memberi peringatan.
Permainan ini sudah saya sesuaikan dengan kondisi siswa. Berdasarkan jumlah dan perilaku, saya tetapkan setiap kelompok memiliki dua pemimpin. Dan instruksi itu saya sampaikan kepada barisan pemimipin yang saya minta di awal masuk tadi. Ketika mereka menyatakan sudah paham, saya bagikan lembaran kertas yang akan mereka sobek sendiri sesuai dengan empat kali jumlah anggota kelompok, lalu saya lepas ke anggota kelompoknya masing-masing. Maka aksi dimulai. Kelas ini langsung tenang, mendengar instruksi rahasia yang saya sampaikan hanya kepada 6 orang pemimpin tadi. Mereka terlihat antusias dan mencondongkan wajah kea rah pemimpin mereka. Namun tidak berapa lama kembali riuh.. woowww.. inilah perjuangan tiada henti. Keriuhan ini menandakan bahwa mereka sudah paham dan ingin segera memulai. Saya hitung waktu dan memulai permainannya. Reda. Sunyi. Sesekali ada cekikikan.
Saya hampiri kelompok-kelompok antusias itu. Mengamati perilaku mereka selama melaksanakan tugas. Memang dalam permainan sederhana ini akan ditemukan hal-hal yang menakjubkan. Misalnya, ketika saya mampir di kelompok dimana ada seorang anak juara, hebat dimata guru, baik dalam pertemanannya, namun dalam permainan ini bersikap acuh, bahkan saya melihat si anak tidak melaksanakan tugas sebagaimana instruksi pemimpinnya. Satu catatan sudah terangkum disini. Hal menakjubkan lainnya saya temukan pada kelompok siswa laki-laki. Bisa dikatakan hampir semua siswa laki-laki di kelas ini adalah biangnya kekacauan, biang menipisnya akhlak dan biang-biang negative lainnya. Salah satu kelompok itu mengerjakan tugas mereka  dengan sangat semangat. Bahkan salah satu siswa yang tadi terlihat tiduran di meja belajar, saat ini justru sangat bersemangat menyusun potongan-potongan kertas itu. Seluruh anggota kelompok ikut berpartisipasi menyelesaikan persegi. Wah, saya benar-benar tidak menduga hal ini. Satu hal lagi yang tidak terduga adalah bahwa mereka berhasil menyelesaikan 4 persegi dalam satu kelompok itu. Excellent! Luar biasa ya, mengingat ketika dalam pelajaran selalu lebih banyak merek tidak fokus dan tidak tertarik bahkan menyepelekan.
Ketika sebagian kelompok sudah menyelesaikan persegi mereka (ada yang membentuk satu persegi besar) saya akhiri waktu permainannya. Tapi tetap saja ada yang protes tentang hasil kerja mereka. Menyanggah, menyalahkan dan mendebat kelompok lain. Buru-buru saya sampaikan beberapa poin pelajaran yang mereka dapatkan dari permainan ini. Apa itu? Satu; bahwa permainan ini bukan terpusat hanya pada hasil akhir dalam bentuk persegi. Dua; bahwa dalam kehidupan kita harus giat berusaha, tekun, kerja keras. Tiga; ketika kita hidup dalam kelompok atau masyarakat kita akan dihadapkan pada berbagai macam kepentingan dan kebutuhan yang tidak bisa kita penuhi sendiri. Empat; ketika kita melihat ada teman yang membutuhkan bantuan kita, bisakah kita membantunya tanpa dia meminta. Lima; ketika kita butuh bantuan orang lain, bisakah kita bertahan dengan kondisi kita tanpa menyusahkan orang lain. Inti keseluruhan permainan ini saya rangkum menjadi usaha yang sungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita dan berempatilah pada orang lain, terutama orang yang ada di sampingmu.
Dan begitulah perjuangan menaklukkan kelas 8a. Bagaimanapun kelakuan siswa, selama mereka berada di sekolah maka gurulah yang bertanggung jawab mendidik dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Bagi saya, pendidikan di sekolah bukan hanya masalah akademik, nilai, skor, raport. Pendidikan di sekolah (khususnya zaman sekarang) adalah bagaimana merangkul dan menyadarkan siswa sehingga mereka memiliki motivasi dari diri sendiri bahwa menimba ilmu pengetahuan itu merupakan kebutuhan.
Ya, kebutuhan. Bukan kewajiban. Lho…? Kebutuhan dan kewajiban Insyaallah akan saya tuliskan di tulisan selanjutnya. Virus supaya semangat nulis.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

akhirnya bisa dipost juga tulisan ini..

Posting Komentar

 

Menelusuri dan Menemukan Sesuatu yang Baru Published @ 2014 by Ipietoon