Selasa, 16-2-2016
Hari ini, jam pelajaran 5-6, saya
merasa bahagiaaa… mengapa? Jika dikisahkan mungkin kejadian ini akan mengundang
tawa atau biasa saja bagi kebanyakan orang. Tapi bagi saya yang guru piket –
dimana keberadaannya sangat tidak diharapkan siswa- merupakan kejadian yang
luar biasa membahagiakan. Alasannya? Mari kita kilas balik apa yang saya alami
barusan, mumpung masih anget dan semangat menuliskannya, and the other reason
is… im free of class. Hee..
Sekarang jam 11.39. itu artinya
19 menit berlalu sejak saya meninggalkan kelas 8a yang baru saja saya isi
menggantikan guru bahasa inggris yang berhalangan hadir. Sebelumnya saya sudah
menunggu kehadiran si bapak bahasa inggris selama 20 menit, namun tidak kunjung
hadir dan akhirnya tugas sayalah sebagai guru piket menggantikan guru yang
berhalangan hadir tersebut. Sangat perlu saya ungkapkan disini bahwa siswa di
kelas 8a adalah siswa dengan tingkah laku terparah di seluruh 6 kelas di
sekolahku ini. If they have had grade, that class will got E for their scores.
Halahhh..keterlaluan memang. Sampai-sampai saya sangat tidak ingin menggantikan
tugas guru di kelas itu. Hhikkksss.. tapi belakangan saya berpikir, masa saya
menyerah, bukan menyerah kepada siswa tapi menyerah dengan kemampuan saya
sendiri. Mana dong ide cemerlang,
perhatian, kontribusi dll bagi perbaikan tingkah laku siswa ini khususnya dan
kontribusi saya membentuk generasi muda. Masa mau dibiarkan begitu tanpa
penyelesaian.. oougghhh… impian tingkat tinggi. Tapi lebih baik bermimpi tentang
perubahan untuk diwujudkan dibandingkan tanpa apa-apa kan..
Akhirnya saya masuki kelas
ekstrim itu. Perjuangan sudah dimulai sejak di depan kelas. Hampir sebagian
siswa berada di luar kelas dan sebagian yang di dalam sibuk dengan aktivitas
mereka yang kebanyakan menghasilkan keributan. Ketika saya meminta mereka
masuk, mereka menjawab dengan anggukan kepala tapi tidak bergeming. Haaaahhh..
bagaimana pendapat saudara-saudara? Biasa. Okelah hal seperti ini masih biasa.
Kemudian saya dekati lagi dengan bahasa yang berbeda. Satu dua siswa menjawab
permintaan saya dengan beralih ke arah lapangan, jalan aja gitu, meninggalkan
ibu guru yang jelas-jelas akan mengisi pelajaran, biasanya hal ini akan
berlanjut dengan nglimput, ini bahasa
daerah tempat saya tinggal, artinya kira-kira kabur dari jam pelajaran
sekolah. Sampai disini..bagaimana?
Tulisan ini sudah besoknya
kejadian di atas..hee..
Lanjut ya, sampai mana ya
kemarin.. hmm.. nah, kejadian itu harus disikapi dengan sabaaaarrrr… lapang
dada, saya panggil aja nama siswa itu dan melambaikan tangan ke arah mereka
yang masih asik nongkrong di ujung seberang lapangan. Tanpa disangka, lambaian
tangan dan panggilan saya kali ini manjur. Mereka segera berdiri, berjalan ke
arah saya menuju kelas. Wooww.. Alhamdulilah. Suatu kemudahan yang diberikan
Tuhan.
Perjuangan ‘memasukkan’ siswa ke
kelas berhasil. Tapi bukan berarti ketika seluruh siswa sudah masuk kelas
kemudian dengan mudahnya menyatukan mereka untuk mendengar dan melaksanakan
instruksi saya. Perjuangan kedua dimulai. Sembari membuka lembaran presensi,
mengamati kehadiran siswa pada jam sebelumnya, dan mengabsen mereka yang tidak
hadir, saya pikirkan kegiatan apa yang sebaiknya saya berikan, cocok dan dapat
menarik perhatikan mereka. Suara saya harus distel ke volume maksimal untuk
mengimbangi riuhan suara 30an siswa di kelas itu. Menimbang antara memberi
pelajaran sesuai mata pelajaran yang ada atau saya beri pelajaran hikmah
melalui game. Jika saya beri pelajaran bahasa inggris, pertimbangannya adalah
mereka tetap mendapatkan hak mereka sesuai pelajaran yang ada, namun saya
sadarai bahwa pelajaran ini adalah salah satu pelajaran minoritas, artinya
banyak siswa yang menghindarinya. Jika disampaikan dengan cara yang kurang
tepat tentu mereka akan semakin liar. Haha.. hiperbolis sekali. Kemudian jika
saya beri pelajaran hikmah melalui permainan tentu akan menghasilkan suasana
berbeda dan menarik. Namun tetap saja saya harus ekstra perjuangan memulai
dalam suasana kelas seperti yang saya gambarkan tadi. Pertimbangan lain adalah
mereka tidak mendapat materi sesuai pelajaran yang ada.
Ting..tang..tung.. ada lonceng di
kepala saya mendesak untuk segera memutuskan. Ahh..ditengah keriuhan kelas itu
saya teriakkan sebuah kalimat, “siapa diantara kalian yang bersedia menjadi
pemimpin?”. Lumayan menarik perhatian, sebagian besar mereka mulai
memperhatikan, menoleh kearah saya dan bertanya. “pemimpin apa bu…?”… “buat apa
bu..?”… “ngapain aja bu..?” meskipun ada beberapa yang masih sibuk dengan
urusannya. Deretan pertanyaan itu cukup membuat saya lega untuk memulai kelas
ini. Jumlah siswa di kelas 8a sngat tidak berimbang, dari 32 siswa hanya 8
siswa laki-laki. Dengan perbandingan jumlah ini, saya minta 4 pemimpin dari
wanita dan 2 pemimpin dari laki-laki. Setelah negosiasi dan kealotan yang cukup
lama, akhirnya majulah 4 pemimpin perempuan dan hanya satu pemimpin laki-laki. saya
ajukan lagi pertanyaan untuk mereka yang berjenis laki-laki. “mana pemimpin
laki-lakinya, masih kurang satu, ada yang bersedia? Masa laki-laki kalah sama
perempuan?” kalimat panjang ini saya sampaikan satu demi satu sembari
memperhatikan reaksi mereka. Ada yang menyangka atau mengira-ngira apa yang
terjadi? Satu, ada yang maju, begitu sampai di meja depan belok ke meja
temannya, ada yang berujar, dengan suara nyaring, ..moso koyo aku ate dadi pemimpin.. (masa kaya saya mau jadi
pemimpin), ada pula yang dengan terang-terangan menolak permintaan menjadi
pemimpin. Whats??? Hebat kalau penolakan ini terjadi pada orang-orang yang
justru mengajukan diri menjadi pemimpin di bursa pemerintahan, dan akhirnya
berubah niat di tengah jalan dengan memanfaatkan kekuasaannya. Lha ini…
Ini sudah lusanya dari kejadian
diatas. Hhfff.. belajar rajin menulis, berjuang menyelesaikan tulisan untuk
kejadian yang hanya kurang dari dua jam. Baiklah saya lanjutkan.
Hingga beberapa saat siswa
laki-laki tetap tidak ada yang bersedia menerima tawaran saya menjadi pemimpin,
saya putuskan biar diganti perempuan saja posisi itu. Begitulah akhirnya ada 4
pemimpin perempuan dan satu pemimpin laki-laki. sudah ditetapkan! Tapiii… buu…
saya gak jadi. Halah siapa itu. Ouughhh.. the pro blem is still done. Entah
siapa yang ingin mengudurkan diri dan
justru ada siswa laki-laki yang maju menawarkan diri menjadi pemimpin.
Baiklah saya terima. Segera saya tetapkan dan mengumpulkan mereka ber-6 di
depan kelas. Lalu saya tawarkan dua pilihan, apakah jam ini akan diisi materi
bahasa inggris atau permainan. Terang saja koor yang terdengar adalah pilihan
kedua. Keberhasilan kedua menarik perhatian mereka. Yup, reaksi berupa jawaban
dari siswa itu adalah keberhasilan lo. Karena… siswa di sekolah ini, terutama
di kelas 8a kadang lupa bawa telinga. Heee..
25-2-2016
Melihat tanggal di atas berarti
sudah hari kesekian sejak kejadian.. mari menghitung.
Sesuai kesepakatan bersama, jam
pelajaran itu akan diisi dengan permainan. Meskipun saya sebut permainan tapi
dalam pelaksanaannya akan ada pelajaran yang diperoleh siswa secara tidak
sadar. Permainan ini saya sebut dengan permainan menyusun bentuk. Sebenarnya dulu
ketika saya masih duduk di bangku sekolah, SMAK, saya pernah mendapatkan
pelatihan motivasi berprestasi, dan permainan ini merupakan salah satu bagian
pelatihan. Saya sangat tertarik dengan makna permainan ini dimana masing-masing
pribadi dalam kelompok harus berjuang menyatukan potongan-potongan kertas
sehingga membentuk persegi. Meskipun setiap peserta harus berhasil menyatukan
potongan miliknya, namun dalam kelompok mereka juga bertanggung jawab
menghasilkan sebanyak 4 persegi sesuai jumlah anggota kelompok ditambah ketua
kelompok sebagai pemberi instruksi. Ada beberapa aturan yang harus mereka
patuhi selama permainan, yaitu dilarang berbicara sesame anggota, dilarang
mengambil atau meminta potongan kertas anggota lain, dilarang memberi kode
apapun, dilarang membantu menyatukan persegi anggota lain. Kegiatan yang boleh
mereka lakukan adalah menyatukan potongan kertas masing-masing dan memberi
potongan kertas kepada teman atau anggota dalam satu kelompok. Ketua masing-masing
kelompok bertugas mencatat nama anggota mereka yang melakukan pelanggaran,
hanya mencatat, tanpa memberi peringatan.
Permainan ini sudah saya
sesuaikan dengan kondisi siswa. Berdasarkan jumlah dan perilaku, saya tetapkan
setiap kelompok memiliki dua pemimpin. Dan instruksi itu saya sampaikan kepada
barisan pemimipin yang saya minta di awal masuk tadi. Ketika mereka menyatakan sudah
paham, saya bagikan lembaran kertas yang akan mereka sobek sendiri sesuai dengan
empat kali jumlah anggota kelompok, lalu saya lepas ke anggota kelompoknya
masing-masing. Maka aksi dimulai. Kelas ini langsung tenang, mendengar
instruksi rahasia yang saya sampaikan hanya kepada 6 orang pemimpin tadi. Mereka
terlihat antusias dan mencondongkan wajah kea rah pemimpin mereka. Namun tidak
berapa lama kembali riuh.. woowww.. inilah perjuangan tiada henti. Keriuhan ini
menandakan bahwa mereka sudah paham dan ingin segera memulai. Saya hitung waktu
dan memulai permainannya. Reda. Sunyi. Sesekali ada cekikikan.
Saya hampiri kelompok-kelompok
antusias itu. Mengamati perilaku mereka selama melaksanakan tugas. Memang dalam
permainan sederhana ini akan ditemukan hal-hal yang menakjubkan. Misalnya,
ketika saya mampir di kelompok dimana ada seorang anak juara, hebat dimata guru,
baik dalam pertemanannya, namun dalam permainan ini bersikap acuh, bahkan saya melihat
si anak tidak melaksanakan tugas sebagaimana instruksi pemimpinnya. Satu catatan
sudah terangkum disini. Hal menakjubkan lainnya saya temukan pada kelompok
siswa laki-laki. Bisa dikatakan hampir semua siswa laki-laki di kelas ini
adalah biangnya kekacauan, biang menipisnya akhlak dan biang-biang negative lainnya.
Salah satu kelompok itu mengerjakan tugas mereka dengan sangat semangat. Bahkan salah satu siswa
yang tadi terlihat tiduran di meja belajar, saat ini justru sangat bersemangat menyusun
potongan-potongan kertas itu. Seluruh anggota kelompok ikut berpartisipasi
menyelesaikan persegi. Wah, saya benar-benar tidak menduga hal ini. Satu hal
lagi yang tidak terduga adalah bahwa mereka berhasil menyelesaikan 4 persegi
dalam satu kelompok itu. Excellent! Luar biasa ya, mengingat ketika dalam
pelajaran selalu lebih banyak merek tidak fokus dan tidak tertarik bahkan
menyepelekan.
Ketika sebagian kelompok sudah
menyelesaikan persegi mereka (ada yang membentuk satu persegi besar) saya
akhiri waktu permainannya. Tapi tetap saja ada yang protes tentang hasil kerja
mereka. Menyanggah, menyalahkan dan mendebat kelompok lain. Buru-buru saya sampaikan
beberapa poin pelajaran yang mereka dapatkan dari permainan ini. Apa itu? Satu;
bahwa permainan ini bukan terpusat hanya pada hasil akhir dalam bentuk persegi.
Dua; bahwa dalam kehidupan kita harus giat berusaha, tekun, kerja keras. Tiga;
ketika kita hidup dalam kelompok atau masyarakat kita akan dihadapkan pada
berbagai macam kepentingan dan kebutuhan yang tidak bisa kita penuhi sendiri. Empat;
ketika kita melihat ada teman yang membutuhkan bantuan kita, bisakah kita
membantunya tanpa dia meminta. Lima; ketika kita butuh bantuan orang lain,
bisakah kita bertahan dengan kondisi kita tanpa menyusahkan orang lain. Inti
keseluruhan permainan ini saya rangkum menjadi usaha yang sungguh-sungguh dalam
mencapai cita-cita dan berempatilah pada orang lain, terutama orang yang ada di
sampingmu.
Dan begitulah perjuangan
menaklukkan kelas 8a. Bagaimanapun kelakuan siswa, selama mereka berada di
sekolah maka gurulah yang bertanggung jawab mendidik dan mengarahkan mereka
kepada kebaikan. Bagi saya, pendidikan di sekolah bukan hanya masalah akademik,
nilai, skor, raport. Pendidikan di sekolah (khususnya zaman sekarang) adalah bagaimana
merangkul dan menyadarkan siswa sehingga mereka memiliki motivasi dari diri
sendiri bahwa menimba ilmu pengetahuan itu merupakan kebutuhan.
Ya, kebutuhan. Bukan kewajiban. Lho…?
Kebutuhan dan kewajiban Insyaallah akan saya tuliskan di tulisan selanjutnya. Virus
supaya semangat nulis.